Resensi Novel Lost On Everest Karya Vanny Chrisma

21.15

Judul Buku : Lost On Everest
Penulis : Vanny Chrisma W.
Penerbit : Kakilangit Kencana, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2016
Tebal : xiv + 212 halaman
ISBN : 978-602-8556-70-5
Peresensi : Teguh Wibowo


Melawan Alam, Menjemput Kematian

Lost On Everest (Menghilang di Everest) adalah novel petualangan. Tentang pencarian hilangnya pendaki asal Semarang bernama Bhisma Tan Abdinegara di Tibet. Berdasar pemeriksaan dokter, sebenarnya ia tidak diizinkan mendaki lagi. Dengan penyakit asam urat yang diderita dan usia yang tidak rasional untuk melakukan pendakian penuh risiko.


Bhisma tetap mendaki. Terinspirasi dengan semboyan Soe Hok Gie, “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat, karena itulah kami naik gunung.” Kalimat itu serasa menghipnotis siapa saja yang berhasil mencermati dan menjiwai artinya. Siapa pun itu, seorang pendaki adalah pemberani. Tapi setiap pemberani belum tentu adalah seorang pendaki (hal 13-14). Sebab, bagi seorang pendaki, prinsip yang dimiliki yaitu ‘Mati adalah risiko yang tak harus ditakuti’. Keberanian adalah nomor satu, turun gunung dan memutuskan untuk kembali sebelum berhasil mencapai puncak, adalah satu hal yang sangat memalukan (hal 65).

Dua tahun menghilang dan tidak ada kabar, keluarga Bhisma pun meradang. Dengan beban pikiran dan menanggung rindu, Aliyah (ibunda Juno) sakit keras. Atas permintaan terakhir ibunya, Juno harus menemukan ayahnya dalam keadaan hidup atau mati. “Ibu ingin melihat wajah ayahmu untuk terakhir kalinya. Carilah ayahmu, untuk Ibu.”

Catatan hati Aliyah: “Alam jauh lebih kaucintai daripada cinta istri dan anakmu. Engkau berdusta suamiku. Ternyata cinta untukku tidak ada, sepenuhnya kauberikan pada alam, alam yang sebenarnya tak membutuhkan kehadiranmu” (hal 93-94).

Ungkapan kesedihan Juno: “Ayah, Juno sangat rindu. Apakah Ayah juga rindu Juno dan Ibu? Ayah, apa engkau tahu kalau Ibu sangat ingin bertemu? Apakah Ayah bisa merasakan getaran rindunya sedalam itu, bahkan aku sendiri tak sanggup untuk menghentikan tangisnya yang tak kunjung redam” (hal 12).

Berbekal visa dan uang saku pemberian Om Tan, Juno pun berangkat menuju Tibet. Di sana ia mengalami perjalanan yang unik sekaligus mengancam nyawanya. Setelah sampai di kampung Tibet, Juno memilih untuk keluar dari rombongan tur agar bisa terlepas dan bebas mencari ayahnya.

Juno singgah di rumah milik tetua Javkhlan dan putrinya, Yue Gong. Mereka berdua terkenal sebagai penduduk nomaden terlama di Tibet dan memiliki kekuatan-kekuatan khusus. Saat berpamitan, Juno mendapat sebuah benda yang dibungkus kain berwarna oranye. Benda yang disebut bisa melindungi diri, yaitu kalung berlukiskan gambar Buddha yang sedang duduk bersemedi. Juno diantar ke Everest oleh seorang sopir bernama Rakhid. Saat singgah di hotel Shigatse, Juno bertemu Arundhati, gadis asal India yang hendak mengakhiri hidupnya di Pucak Everest. Ia mengidap HIV/AIDS yang diturunkan orangtuanya. Berbalut debaran asmara, Arundhati menjadi pendamping Juno dalam petualangannya. Dilema besar menghantui. Juno tak kunjung menemukan ayahnya, sementara ibunya semakin kritis. Kepulangan Juno sungguh dinanti.

Kisah penceritaan novel ini terjadi tahun 2004 sampai 2006. Alur campuran yang digunakan sungguh cepat dan kadang zig-zag, bisa membuat pembaca bingung. Saya rasa, novel ini perlu diberi daftar isi dan daftar pustaka di halaman akhir. Ada pun kelihaian Vanny terlihat saat menempatkan alur cerita secara bergantian seperti dalam film atau sinetron. Komposisinya bernas dengan gaya penceritaan tidak bertele-tele. Tampilan puisi-puisi dan surat-surat terasa menyatu dengan ide cerita.

Sebuah novel petualangan gaya baru. Berlatar di Negeri Atap Dunia: Tibet dan Gunung Everest. Membaca novel ini dapat memperluas pengetahuan tentang budaya, sejarah, geografi, serta mendapat ilmu travelling dan backpacking. Melahirkan kesadaran untuk memberdayakan karunia Tuhan sebaik mungkin. Manusia dibatasi umur, kapan pun bisa lenyap. Tetapi, selama matahari masih menyala, alam akan tetap berpacu dengan waktu. (*)

*) Pernah dimuat di harian Tribun Jateng, Minggu, 2 Oktober 2016, halaman 20.

Sumber: Blog Peresensi

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe